Sejarah Kisah Hidup D.N. Aidit (Ketua PKI) dan Di Temukan Lokasi Makamnya
Sejarah Kisah Hidup D.N. Aidit (Ketua PKI) dan Di Temukan Lokasi Makamnya - Setiap bulan September, kita selalu rutin mengibarkan bendera Sang Merah Putih setengah tiang untuk mengenang tragedi berdarah 30 September 1965 yang selalu digembar-gemborkan oleh rezim Orde Lama didalangi oleh PKI, dimana D.N. Aidit menjadi "godfather"-nya.
Menurut cerita sejarah yang dipelajari di sekolah dan diorama museum pengkhianatan G30S/PKI di Lubang Buaya, D.N Aidit ditangkap di Solo. Namun setelah itu tidak ada yang tahu menahu kelanjutan nasibnya, bahkan dimana lokasi makamnya, semua gelap.
Tapi, konon ia dimakamkan di Boyolali, di sebuah tempat yang tidak disangka-sangka.
Hamparan berpasir itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.
Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Komite Sentral PKI, dikuburkan pada akhir November 1965. Salah satunya Ketua Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.
Pada suatu malam di tahun 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang terlibat dalam ”operasi pembersihan”. Dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. ”Eksekusinya subuh-subuh,” Tamam menirukan Yasir.
Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. ”Ini arloji Aidit,” katanya. Sewaktu Tamam mendesaknya menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, ”Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin.”
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. ”Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi,” katanya tatkala dihubungi pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.
Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya sekalipun. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.
Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah tiga tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.
Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. “Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu,” kata Ilham.
Seperti dilansir Tempo, seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.
Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. ”Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras,” katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.
Tak sampai 100 meter dari lokasi itu, ada sebuah tanah lapang lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Aidit yang juga menjabat Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua di belakang gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Kini rumah itu tampak terkesan tak terurus dan ditempati lima keluarga berbeda.
”Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya,” kata Ilham. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.
Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.
Menurut cerita sejarah yang dipelajari di sekolah dan diorama museum pengkhianatan G30S/PKI di Lubang Buaya, D.N Aidit ditangkap di Solo. Namun setelah itu tidak ada yang tahu menahu kelanjutan nasibnya, bahkan dimana lokasi makamnya, semua gelap.
Tapi, konon ia dimakamkan di Boyolali, di sebuah tempat yang tidak disangka-sangka.
Hamparan berpasir itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.
Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Komite Sentral PKI, dikuburkan pada akhir November 1965. Salah satunya Ketua Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.
Pada suatu malam di tahun 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang terlibat dalam ”operasi pembersihan”. Dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. ”Eksekusinya subuh-subuh,” Tamam menirukan Yasir.
Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. ”Ini arloji Aidit,” katanya. Sewaktu Tamam mendesaknya menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, ”Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin.”
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. ”Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi,” katanya tatkala dihubungi pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.
Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya sekalipun. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.
Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah tiga tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.
Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. “Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu,” kata Ilham.
Seperti dilansir Tempo, seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.
Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. ”Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras,” katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.
Tak sampai 100 meter dari lokasi itu, ada sebuah tanah lapang lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Aidit yang juga menjabat Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua di belakang gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah. Kini rumah itu tampak terkesan tak terurus dan ditempati lima keluarga berbeda.
”Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya,” kata Ilham. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.
Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.
0 komentar:
Posting Komentar